perubahan iklim



Perubahan iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (inter centenial).
        Disamping itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Jadi perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung berapi, tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim. Dengan demikian fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke dalam perubahan iklim global. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O).
                                    Perubahan iklim bukanlah hal baru. Iklim global sudah selalu berubah-ubah. Jutaan tahun yang lalu, sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya merupakan wilayah yang tertutupi oleh es, dan beberapa abad terakhir ini, suhu rata-rata telah naik turun secara musiman, sebagai akibat fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan gunung berapi secara berkala. Namun, yang baru adalah bahwa perubahan iklim yang ada saat ini dan yang akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi kita memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu, misalnya, serta pembabatan hutan.
                        Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas.Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.
                        Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, “industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). ” Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia.
                        Ketika perubahan iklim datang, maka kesehatan manusia akan berada dalam ketidakpastian waktu. Kasus bisa terjadi sewaktu-waktu dengan kuantitas dan kualitas dampak yang juga tidak dapat dipastikan. Sistem pelayanan kesehatan akan menemui berbagai macam tantangan yang rumit seperti naiknya biaya pelayanan kesehatan, komunitas yang mengalami penuaan dini, dan berbagai tantangan lainnya sehingga strategi pencegahan yang efektif sangat dibutuhkan.
                        Frequensi timbulnya penyakit seperti malaria dan demam berdarah meningkat. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan. ”Pemanasan global” juga memicu meningkatnya kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Penduduk dengan kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai serangga dan hewan. Faktor iklim berpengaruh terhadap risiko penularan penyakit tular vektor seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Semakin tinggi curah hujan, kasus DBD akan meningkat. suhu berhubungan negatif dengan kasus DBD, karena itu peningkatan suhu udara per minggu akan menurunkan kasus DBD. Penderita alergi dan asma akan meningkat secara signifikan. Gelombang panas yang melanda Eropa tahun 2005 meningkatkan angka “heat stroke” (serangan panas kuat) yang mematikan.
            Secara langsung maupun tidak langsung, angin dan awan di permukaan bumi terkait dengan matahari. Panas dari matahari memproduksi perbedaan temperatur, yang mengarahkan pada perbedaan temperatur. Dan angin selalu bergerak dari tekanan tinggi ke rendah.
Laut menjadi tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global menggerakkan energi yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global, dari angin sepoi-sepoi sampai adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan kecerlangan matahari, memunculkan dugaan adanya kaitan dengan perubahan iklim. Meskipun masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim lebih disebabkan karena peningkatan kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan iklim.
Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Sementara iklim didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
            Trewartha and Horn (1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu konsep yang abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca rata-rata, karena tidak ada konsep iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi atas perubahan cuaca harian dan perubahan cuaca musiman serta suksesi episode cuaca yang ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam studi tentang iklim penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun penyimpangan, variasi dan keadaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai arti penting. Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik.

PEMANASAN GLOBAL
(GLOBAL WARMING)
Udara di sekeliling kita semakin panas, bukankah  hal itu sudah biasa terjadi di daerah tropis? Mengapa orang sedunia heboh? Pemanasan global  adalah  kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi memanas.
                                                           
Sebagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas tertentu di dalam atmosfer  yang disebut Gas Rumah Kaca (GRK), selanjutnya GRK meradiasikan kembali panas tersebut ke bumi. Mekanisme ini disebut Efek Rumah Kaca (ERK) di atmosfer juga akan memaksa iklim untuk melalui ambang batas toleransinya, sehingga apabila hal ini terjadi iklim akan berubah secara drastis dan akan mengubah sistem-sistem dinamika alam yang sudah ada. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah sebagai berikut :
1.      Sumber Gas Rumah Kaca
a.                   Uap Air, adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal. Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air ditroposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya ERK; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan GRK seperti CO2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.
b.                   CO2 (Karbon dioksida), Karbon dioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan gunung berapi, hasil pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbon dioksida) dan pembakaran material organik seperti tumbuhan. Manusia telah meningkatkan jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbon dioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian. Karbon dioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbon dioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbon dioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
c.                   CH4 (Metan), Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk GRK. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan ke atmosfir selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam dan  minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.
d.                  N2O (Nitrous Oksida),  Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida, HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur hexafluoride). GRK lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan aluminium. HFCs (Hydrofluorocarbons) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin dibeberapa negara berkembang masih menggunakan PFCs (Perfluorocarbons) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet). Para ilmuwan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

Bagaimana gas rumah kaca berperan dalam efek rumah kaca dan merubah iklim bumi? Mekanismenya kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: "atmosfer," adalah lapisan dari berbagai macam gas yang menyelimuti bumi, dan merupakan mesin dari sistem iklim secara fisik. Ketika pancaran/radiasi dari matahari yang berupa sinar tampak atau gelombang pendek memasuki atmosfer, beberapa bagian dari sinar tersebut direfleksikan atau dipantulkan kembali oleh awan-awan dan debu-debu yang terdapat di angkasa, sebagian lainnya diteruskan ke arah permukaan daratan. Dari radiasi yang langsung menuju ke permukaan daratan sebagian diserap oleh bumi, tetapi bagian lainnya “dipantulkan” kembali ke angkasa oleh es, salju, air, dan permukaan-permukaan reflektif bumi lainnya. Proses pancaran sinar matahari dari angkasa menembus atmosfer sampai menuju permukaan bumi hingga dapat kita rasakan suhu bumi menjadi hangat disebut efek rumah kaca (ERK). Tanpa ada ERK di sistem iklim bumi, maka bumi menjadi tidak layak dihuni karena suhu bumi terlalu rendah (minus).
Dari penjelasan di atas dapat kita mengerti bagaimana mekanisme terjadinya ERK di bumi. Lalu bagaimana keterkaitan antara ERK, pemanasan global dan perubahan iklim? Secara sederhana dijelaskan sebagai berikut sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah ERK berlebihan karena komposisi lapisan GRK di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.
Meskipun pemanasan global hanya merupakan satu bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
            Namun beberapa penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan sirkulasi termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang. Dengan suhu bumi yang semakin meningkat, GRK yang terus meningkat dan es yang terus mencair, dapat menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang pada gilirannya mengakibatkan titik bekunya meningkat. Pada musim dingin permukaan air di Kutub Utara akan membeku dan menghambat proses pertukaran panas sehingga dapat mengakibatkan perubahan sirkulasi air laut yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
2.         Gejala Pemanasan Global
          Perubahan iklim yang ekstrim dapat mengakibatkan hilangnya ciri dari sebuah daratan. Entah itu naiknya permukaan laut, penggurunan, angin musim yang deras, gletser meleleh atau pengasaman laut, perubahan iklim dengan cepat akan mengubah daratan planet kita.
          Tanda-tanda pemanasan global mungkin sudah terlihat di permukaan bumi. Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di negara-negara lain juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini, kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar.  Situs purbakala cepat rusak akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. Banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua.
          Tahun 2010, cuaca ekstrim melanda Eropa dan Australia. Warga bumi mengalami perubahan cuaca yang tidak biasa. Setelah Asia dilanda hujan terus menerus, sejumlah negara Eropa kini mengalami musim dingin ekstrim. Badai salju terus turun, dan suhu udara turun drastis. Badan Prakiraan Cuaca Inggris menilai cuaca dingin ini adalah yang terparah pemanasan global. Dengan iklim yang hangat membuat udara lebih lembab, yang dapat memicu badai salju yang lebih parah.
Pada tahun yang sama, peristiwa menarik terjadi di Australia. Tak begitu jauh dari garis katulistiwa, sebagian wilayah di timur Australia mengalami cuaca dingin, bahkan sampai bersalju. Bagi kalangan publik dan pengamat setempat, perubahan cuaca ini terbilang tak biasa. Sejumlah wilayah di Australia, seperti di New South Wales dan Victoria, umumnya menikmati musim panas di akhir tahun dengan suhu sekitar 30 derajat celsius. Namun saat itu, suhu bisa mencapai hampir nol derajat celcius, dengan hujan salju setebal 10 hingga 30 sentimeter. Menurut ahli cuaca di badan prakiraan cuaca Australia, cuaca yang tidak biasa ini terjadi akibat udara bertekanan rendah di laut Selatan, yaitu dari perairan Antartika di Kutub Selatan. Ini menyebabkan cuaca dingin ekstrim yang sedang melanda Eropa terbawa hingga ke Australia.
            Bagaimana nasib Indonesia jika terjadi perubahan iklim? Indonesia akan kehilangan lahan pesisir dan produksi pangan yang terdapat di daerah dekat pantai terganggu.  Hal ini akan terjadi jika pemanasan global berkelanjutan, sehingga menimbulkan permukaan air laut naik.
Di Indonesia sendiri, tanda-tanda perubahan iklim akibat pemanasan global telah lama terlihat. Misalnya, sudah beberapa kali ini kita mengalami musim kemarau yang panjang. Tahun 1982-1983, 1987 dan 1991, kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Hampir 3,6 juta hektar hutan habis di Kalimatan Timur akibat kebakaran tahun 1983. Musim kemarau tahun 1991 juga menyebabkan 40.000 hektar sawah dipusokan dan produksi gabah nasional menurun drastis dari 46,451 juta ton menjadi 44,127 juta ton pada tahun 1990. Akibatnya, pemerintah Indonesia yang sudah mencapai swasembada beras sejak 1984, terpaksa mengimpor beras dari India, Thailand dan Korea Selatan seharga Rp 200 miliar.  
Tahun 2009, Lebih kurang 1.600 hektare sawah di kawasan Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar) dilanda kekeringan, dan 11.380 hektare sawah lainnya terancam kekeringan menyusul musim kemarau panjang yang melanda daerah itu. Kondisi ini diperparah minimnya pasokan air ke ribuan hektare area pertanian warga.
Kemarau panjang yang mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar diakibatkan oleh fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31°C sehingga membawa kekeringan di Indonesia. Para ahli klimatologi menyatakan bahwa siklus kejadian El Nino berlangsung antara 7 sampai 10 tahun. Jika kita berasumsi bahwa kemarau pada 1982-83 adalah akibat El Nino, maka seharusnya kemarau panjang berikutnya terjadi sekitar 1989-90. Namun kita mengalami kemarau panjang berikutnya di 1987, lima tahun kemudian. Setelah itu, kemarau panjang kembali terjadi pada 1991, atau empat tahun setelah kemarau 1987.
Selain itu, pada akhir 2004, terjadi gempa bumi dahsyat di Samudra Hindia, lepas pantai barat Aceh. Gempa yang berkekuatan 9,3 menurut skala Richter merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini  sehingga mengakibatkan tsunami setinggi 9 meter. Lalu tahun 2011, hujan deras mengguyur berbagai daerah di Indonesia  lebih deras dari tahun-tahun yang lalu. Bahkan di beberapa daerah seperti  Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya mengalami musim hujan bersifat di atas normal. Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi dan Geofisika, diketahui bahwa musim hujan 2011 sebesar 37,3 persen daerah mengalami curah hujan di atas normal.
Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El Nino yaitu La Nina. La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan samudera Pasifik yang membawa angin serta awan hujan ke Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. La Nina yang terjadi menyebabkan curah hujan tinggi disertai angin topan. Apakah kemarau panjang dan curah hujan di atas normal yang makin sering terjadi merupakan kejadian alam biasa atau merupakan akibat pemanasan global? Hal ini memang belum dapat dipastikan. Namun, jika pemanasan global benar-benar terjadi, maka yang akan kita alami adalah kemarau  panjang dan curah hujan di atas normal dalam  skala yang lebih besar dan  lebih luas sehingga dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar.
Tanda-tanda perubahan iklim juga terlihat pada kondisi beberapa pulau di Kalimantan Timur, khususnya di pulau Tarakan.  Udara yang semakin panas serta sulitnya mendapatkan air bersih dirasakan oleh seluruh penduduk Tarakan yang mayoritas bermukim di kawasan pesisir. Tidak hanya itu, kawasan hutan lindung di Tarakan sudah melebihi dari 30 persen yang diprogramkan pemerintah kota. Namun hal tersebut baru sebatas luas kawasannya, bukan pada keberadaan hutannya. Kawasan hutan pantai juga sudah mulai hilang perlahan dan digantikan sebagai lahan aktifitas manusia sehingga ikut menyebabkan perubahan iklim. Berdasarkan hasil penelitian organisasi Tim Peduli Lingkungan Tarakan, pada tahun 2000-2005 lalu, tercatat 100 hektare hutan mangrove terdegradasi dan yang tersisa saat ini hanya 670 hektare dari sebelumnya seluas 1.250 hektare hutan mangrove. Selain itu, abrasi di bibir pantai kota Tarakan juga sudah terlihat dalam beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan pantauan Tim Peduli Lingkungan sejak 2007 lalu, abrasi tiap tahun mencapai antara 3 hingga 5 meter, salah satunya di Pantai Amal baru, kelurahan Pantai Amal. Dari data yang ada, dapat digambarkan bahwa kondisi hutan mangrove di pesisir pantai kota Tarakan sedang mengalami tekanan yang hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga menyebabkan hilangnya hutan mangrove dalam jumlah besar. Hal ini tentu dapat menimbulkan kerugian jika tidak diatasi secepatnya. Mengingat hutan mangrove merupakan pelindung pantai dari terjadinya abrasi, selain itu sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar karena merupakan tempat perkembangbiakan ikan dan udang serta biota laut lainnya. Hutan mangrove mengandung zat hara yang dibutuhkan mahluk hidup serta merupakan tempat berlindung dan asuhan fauna. Banyak bencana dan kerugian yang terjadi akibat rusak/hilangnya hutan mangrove, seperti abrasi pantai, intrusi air laut, banjir, hancurnya pemukiman penduduk diterpa badai laut, hilangnya sumber perikanan alami, dan hilangnya kemampuan dalam meredam emisi gas rumah kaca.
3.      Bencana Besar Akibat Pemanasan Global
Selama 13 tahun terakhir, dua belas tahun diantaranya tercatat sebagai tahun-tahun terpanas. Dengan akumulasi GRK yang terus berlangsung seperti saat ini, pada dua sampai tiga dekade mendatang peningkatan pemanasan global akan melampaui perhitungan yang telah ada selama ini. Sebuah panel internasional para ahli yang tergabung dalam Inter-Governmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada tahun 2050 temperatur global akan naik 2-3 derajat celcius. Peningkatan temperature itu akan menimbulkan bencana besar yakni :
a.        Mencairnya es di kutub Utara dan Selatan
Kutub Utara berada di atas es yang lebih kecil dan lebih tipis dibandingkan dengan sebelumnya, sementara es tua yang kuat mulai digantikan es muda yang cepat mencair. Demikian dikatakan beberapa peneliti di NASA dan National Snow and Ice Data Center di Colorado. Menurut para peneliti tersebut, maksimum es laut Artik pada musim dingin ini bertambah 15 juta dan 150.000 kilometer persegi, sekitar 720.000 kilometer persegi lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata wilayah Kutub Utara antara tahun 1979 dan 2000. Pada musim dingin normal, es seringkali memiliki ketebalan tiga meter atau lebih, Namun, pada tahun 2010, ketebalan lapisan es hampir-hampir tak dapat menembus sasaran yang tepat. Jumlah es laut tebal mencapai tingkat rendah pada musim dingin dengan luas 680.400 kilometer persegi sehingga turun 43 persen dari tahun sebelumnya. 
Bila suhu bumi meningkat hingga 30ºC, diramalkan sebagian belahan bumi akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah kutub. Sebagai contoh di negara Venesia pernah mengalami banjir parah pada bulan November 2009, ketika tingkat air mencapai 131 cm. Venesia telah lama tenggelam, tapi naiknya permukaan air laut telah membuat situasi lebih mengerikan. Frekuensi banjir meningkat setiap tahun, meninggalkan banyak pertanyaan berapa lama lagi Venesia bisa tinggal di atas air.

b.      Meningkatnya level permukaan laut (sea level rise)
Mencairnya es di kutub Utara dan kutub Selatan berdampak langsung pada naiknya level permukaan air laut. Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah Utara Kanada), sehingga akan  meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 - 88 cm.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Dengan meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk dari daerah pantai.
Indonesia, Amerika Serikat, dan Bangladesh adalah beberapa negara yang paling terancam tenggelam. Bahkan beberapa pulau di Indonesia sudah hilang tenggelam. Ini disebabkan mencairnya permukaan gletser di kutub yang membuat volume air laut meningkat drastis. Satu lagi pulau Indonesia terancam tenggelam yang di beritakan beberapa media pada April 2010. Setelah diketahui 13 pulau hilang sejak terjadi tsunami pada 1907 di periran Kabupaten Simueulu hingga tsunami 2005 di Nias, Sumatra Utara, sekarang di-informasikan ada satu pulau lagi mulai timbul tenggelam di permukaan laut yakni pulau Gosong Kasih. Kondisi Pulau Gosong Kasih sekarang sering timbul tenggelam. Ketika terjadi pasang, daratan itu tenggelam oleh air laut, sedangkan saat sedang surut tampak kembali ke atas permukaan perairan Samudera Hindia. Daratannya tidak hilang tapi sering tenggelam karena permukaan air laut naik. Hal ini tidak lain akibat dari efek pemanasan global atau pengaruh gempa bumi yang sering terjadi di perairan barat selatan Aceh. Oleh karena itu, pemukaan air semakin naik atau struktur daratan pulau turun dari posisi semula.

c.                   Perubahan Iklim/cuaca yang semakin ekstrim
Pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan iklim bumi. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat. Kita tentu menyadari betapa panasnya suhu di sekitar kita belakangan ini dan dapat melihat betapa tidak dapat diprediksinya kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan. Ladang tani, perkebunan yang biasanya menghasilkan akan musnah oleh banjir atau kekeringan. Penduduk akan di buat makin menderita karena stok bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya akan jauh berkurang dan harganya pasti akan melambung naik. Pemerintah juga membutuhkan biaya yang banyak untuk membangun kembali wilayah yang terkena bencana dan menanggulangi penyakit yang mewabah. Afrika, India, dan daerah-daerah kering lainnya bakal menderita kekeringan lebih parah. Air akan makin sulit di dapat dan tanah tak bisa ditanami apa-apa lagi, hingga suplai makanan berkurang drastis. Ilmuwan memperkirakan hasil tani negara-negara Afrika akan menurun 50 persen di tahun 2020 , dan tingkat kekeringan di dunia meningkat 66 persen . Tak terbayang kalau kekeringan ini sampai terjadi di bumi ini.
Kita juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah melanda wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Tahun-tahun belakangan ini kita makin sering dilanda badai-badai yang mengganggu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik via laut maupun udara. Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang luput dari perubahan iklim yang ekstrim ini. Cuaca ekstrim di Indonesia terbagi atas beberapa bagian, yaitu curah hujan yang tinggi (disertai petir dan angin kencang), naiknya gelombang air laut, terbatasnya jarak pandang, kecepatan angin kencang di atas rata-rata, adanya puting beliung, dan lain-lain. Efek yang paling dirasakan oleh Indonesia dari cuaca ekstrim adalah tingginya tingkat curah hujan, yang mengakibatkan timbulnya banjir di daerah-daerah tertentu.
d.                  Gelombang panas menjadi semakin ganas
Pemanasan global mengakibatkan gelombang panas menjadi semakin sering terjadi dan semakin kuat. Pada tahun 2003, daerah Eropa Selatan pernah mendapat serangan gelombang panas hebat yang mengakibatkan tidak kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban terbanyak dari Perancis (14.802 jiwa). Perancis merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak karena tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas fenomena gelombang panas sebesar itu. Gelombang panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan kegagalan panen merata di daerah Eropa. Mungkin kita tidak mengalami gelombang-gelombang panas maha dahsyat seperti yang dialami oleh Eropa dan Amerika Serikat, tetapi melalui pengamatan dan dari apa yang kita rasakan sehari-hari betapa panasnya suhu di sekitar kita.
Sebanyak 30 persen mahkluk hidup yang ada  sekarang bakal musnah tahun 2050 kalau temperatur bumi terus naik. Spesies yang punah ini kebanyakan yang habitatnya di tempat dingin. Hewan-hewan laut diperkirakan banyak yang tak bisa bertahan setelah suhu air laut jadi menghangat. Kalau tumbuhan dan hewan makin berkurang, jelas manusia akhirnya terancam karena kekurangan bahan makanan.

e.                   Menipisnya Gletser- sumber air bersih dunia
Gletser adalah daratan yang terbuat dari es. Gletser bakal ikut meleleh dan menciut seiring dengan bertambahnya suhu bumi. Suhu bumi meningkat karena tingginya emisi gas rumah kaca  di atmosfer. Selama tahun 1990- 2005  saja suhu bumi naik 0,15 - 0,3 derajat celcius.  Gletser Himalaya yang memasok air ke sungai Gangga sekaligus menyediakan irigasi dan suplai air minum untuk 500 juta penduduk,menyusut 37 meter pertahun.Gletser di kutub semakin cepat mencair hingga membuat permukaan air laut di bumi naik. Mencairnya gletser-gletser dunia mengancam ketersediaan air bersih, dan pada jangka panjang akan turut menyumbang peningkatan level air laut dunia. Dan sayangnya itulah yang terjadi saat ini. Gletser-gletser dunia saat ini mencair hingga titik yang mengkhawatirkan.
f.       Perubahan Lingkungan Picu Munculnya Konflik
Negara yang kekurangan air dan bahan pangan kemungkinan besar akan mengalami panik dan berubah jadi agresif. Lalu bukan tak mungkin mereka berusaha saling merebut lahan yang belum rusak.
Tony Karbo, Ph.D., program officer for UPEACE, mengatakan perubahan lingkungan dapat memicu munculnya konflik yang mengarah pada kekerasan. Perubahan tersebut timbul sebagai dampak eksploitasi sumber daya alam yang pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan dan kerusakan lingkungan hidup. terdapat beberapa jenis perubahan lingkungan yang berpotensi melahirkan konflik. Perubahan lingkungan yang dimaksud, antara lain, perubahan iklim akibat efek rumah kaca, menipisnya lapisan ozon dan ketersediaan air bersih, serta menurunnya kualitas tanah pertanian akibat sistem konversi tanah. kelangkaan sumber daya alam mendorong migrasi secara besar-besaran. Adanya perpindahan penduduk berdampak pada berkurangnya produktivitas ekonomi yang melemahkan suatu wilayah. Pada akhirnya, hal tersebut akan melahirkan konflik antar-etnis dan berbagai bentuk kekerasan ekonomi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PPD ( perkembangan peserta didik )

GEOLINGSUM ( GEOGRAFI LINGKUNGAN DAN SUMBERDAYA )

Pengaruh Iklim terhadap Sektor Pertanian