perubahan iklim
Perubahan
iklim adalah perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan
yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50
sampai 100 tahun (inter centenial).
Disamping
itu harus dipahami bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia
(anthropogenic), khususnya yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil
dan alih-guna lahan. Jadi perubahan yang disebabkan oleh faktor-faktor
alami, seperti tambahan aerosol dari letusan gunung
berapi, tidak diperhitungkan dalam pengertian perubahan iklim. Dengan demikian
fenomena alam yang menimbulkan kondisi iklim ekstrem seperti siklon yang dapat
terjadi di dalam suatu tahun (inter annual) dan El-Nino serta La-Nina yang
dapat terjadi di dalam sepuluh tahun (inter decadal) tidak dapat digolongkan ke
dalam perubahan iklim global. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan
yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya dalam
bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrous oksida (N2O).
Perubahan
iklim bukanlah hal baru. Iklim global sudah selalu berubah-ubah. Jutaan tahun
yang lalu, sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya merupakan
wilayah yang tertutupi oleh es, dan beberapa abad
terakhir ini, suhu rata-rata telah naik turun secara musiman, sebagai akibat
fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan gunung berapi secara
berkala. Namun, yang baru adalah bahwa perubahan iklim yang ada saat ini dan yang
akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih
karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi kita
memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat
pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu, misalnya, serta
pembabatan hutan.
Dalam laporan terbaru,
Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri
dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia
selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas.Sejak
Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm
menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun
terakhir! IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan
manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya
selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas
rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan,
dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah
banyak dan menyumbang pada pemanasan global.
Tetapi, menurut Laporan
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan
pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, “industri peternakan adalah penghasil
emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini
lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh
dunia (13%). ” Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari
peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua
kendaraan di dunia.
Ketika perubahan iklim
datang, maka kesehatan manusia akan berada dalam ketidakpastian waktu. Kasus
bisa terjadi sewaktu-waktu dengan kuantitas dan kualitas dampak yang juga tidak
dapat dipastikan. Sistem pelayanan kesehatan akan menemui berbagai macam
tantangan yang rumit seperti naiknya biaya pelayanan kesehatan, komunitas yang
mengalami penuaan dini, dan berbagai tantangan lainnya sehingga strategi
pencegahan yang efektif sangat dibutuhkan.
Frequensi timbulnya
penyakit seperti malaria dan demam berdarah meningkat. Penduduk dengan
kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk,
serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
berbagai serangga dan hewan. ”Pemanasan global” juga memicu meningkatnya kasus
penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Penduduk dengan kapasitas
beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk, serta
berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui berbagai
serangga dan hewan. Faktor iklim berpengaruh terhadap risiko penularan penyakit
tular vektor seperti demam berdarah dengue (DBD) dan malaria. Semakin tinggi
curah hujan, kasus DBD akan meningkat. suhu berhubungan negatif dengan kasus
DBD, karena itu peningkatan suhu udara per minggu akan menurunkan kasus DBD.
Penderita alergi dan asma akan meningkat secara signifikan. Gelombang panas
yang melanda Eropa tahun 2005 meningkatkan angka “heat stroke” (serangan panas
kuat) yang mematikan.
Secara langsung maupun tidak
langsung, angin dan awan di permukaan bumi terkait dengan matahari. Panas dari
matahari memproduksi perbedaan temperatur, yang mengarahkan pada perbedaan
temperatur. Dan angin selalu bergerak dari tekanan tinggi ke rendah.
Laut menjadi
tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global menggerakkan energi
yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global, dari angin
sepoi-sepoi sampai adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan kecerlangan
matahari, memunculkan dugaan adanya kaitan dengan perubahan iklim. Meskipun
masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim lebih disebabkan karena peningkatan
kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa
matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan iklim.
Cuaca
dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian
khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara
lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu
tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan,
musim, tahun). Sementara iklim didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai
keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi
disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
Trewartha and Horn (1995) mengatakan bahwa
iklim merupakan suatu konsep yang abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari
keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan
tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca
rata-rata, karena tidak ada konsep iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi
atas perubahan cuaca harian dan perubahan cuaca musiman serta suksesi episode
cuaca yang ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah,
meski dalam studi tentang iklim penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun
penyimpangan, variasi dan keadaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai
arti penting. Indonesia mempunyai karakteristik
khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai
karakteristik iklim yang spesifik.
PEMANASAN GLOBAL
(GLOBAL
WARMING)
Udara di
sekeliling kita semakin panas, bukankah
hal itu sudah biasa terjadi di daerah tropis? Mengapa orang sedunia heboh?
Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang
panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi,
sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi
memanas.
Sebagian
radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas
tertentu di dalam atmosfer yang disebut Gas
Rumah Kaca (GRK), selanjutnya GRK meradiasikan kembali panas tersebut ke
bumi. Mekanisme ini disebut Efek Rumah Kaca (ERK) di atmosfer juga akan
memaksa iklim untuk melalui ambang batas toleransinya, sehingga apabila hal ini
terjadi iklim akan berubah secara drastis dan akan mengubah sistem-sistem
dinamika alam yang sudah ada. Kontributor terbesar pemanasan
global saat ini adalah sebagai berikut :
1.
Sumber Gas Rumah Kaca
a.
Uap Air, adalah gas rumah kaca yang timbul
secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca.
Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak
secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal.
Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah
kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap
air ditroposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya
konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya ERK; yang mengakibatkan
meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di
atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium
(kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif
terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan GRK seperti CO2. Perubahan
dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui
terbentuknya awan.
b.
CO2 (Karbon dioksida), Karbon dioksida adalah gas terbanyak
kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan gunung berapi,
hasil pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan
karbon dioksida) dan pembakaran material organik seperti tumbuhan.
Manusia telah meningkatkan jumlah karbon dioksida
yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah
padat, dan kayu untuk menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada
saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbon dioksida semakin
berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan
lahan pertanian. Karbon dioksida dapat
berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam
proses fotosintesis. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi
karbon dioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbon dioksida
ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
c.
CH4 (Metan), Metana yang merupakan komponen utama
gas alam juga termasuk GRK. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu
menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana
dilepaskan ke atmosfir selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari
pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu,
terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan.
d.
N2O (Nitrous Oksida),
Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia
dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian.
Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida,
HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur hexafluoride).
GRK lainnya dihasilkan dari berbagai proses
manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan aluminium. HFCs (Hydrofluorocarbons) terbentuk selama
manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan tempat duduk di
kendaraan. Lemari pendingin dibeberapa negara berkembang masih menggunakan PFCs
(Perfluorocarbons) sebagai media
pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon
(lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet). Para ilmuwan telah lama mengkhawatirkan
tentang gas-gas yang dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan.
Bagaimana gas
rumah kaca berperan dalam efek rumah kaca dan merubah iklim bumi? Mekanismenya
kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut: "atmosfer," adalah
lapisan dari berbagai macam gas yang menyelimuti bumi, dan merupakan mesin dari
sistem iklim secara fisik. Ketika pancaran/radiasi dari matahari yang berupa
sinar tampak atau gelombang pendek memasuki atmosfer, beberapa bagian dari
sinar tersebut direfleksikan atau dipantulkan kembali oleh awan-awan dan
debu-debu yang terdapat di angkasa, sebagian lainnya diteruskan ke arah
permukaan daratan. Dari radiasi yang langsung menuju ke permukaan daratan
sebagian diserap oleh bumi, tetapi bagian lainnya “dipantulkan” kembali ke
angkasa oleh es, salju, air, dan permukaan-permukaan reflektif bumi lainnya.
Proses pancaran sinar matahari dari angkasa menembus atmosfer sampai menuju
permukaan bumi hingga dapat kita rasakan suhu bumi menjadi hangat disebut efek
rumah kaca (ERK). Tanpa ada ERK di sistem iklim bumi, maka bumi menjadi tidak
layak dihuni karena suhu bumi terlalu rendah (minus).
Dari penjelasan
di atas dapat kita mengerti bagaimana mekanisme terjadinya ERK di bumi. Lalu
bagaimana keterkaitan antara ERK, pemanasan global dan perubahan iklim? Secara
sederhana dijelaskan sebagai berikut sinar matahari yang tidak terserap
permukaan bumi akan dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, sinar tampak adalah gelombang pendek,
setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang panjang yang berupa
energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun sebagian dari energi
panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos keluar ke angkasa,
karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya (komposisinya
berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke
permukaan bumi (troposfer) atau
adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup
lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah ERK berlebihan karena
komposisi lapisan GRK di atmosfer terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu
rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah
salah satu parameter dari iklim dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi,
terjadilah perubahan iklim secara global.
Meskipun pemanasan global hanya
merupakan satu bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global
menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur
akan memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan
temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan
akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita
makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan
organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan
mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
Namun
beberapa penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan
sirkulasi termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang.
Dengan suhu bumi yang semakin meningkat, GRK yang terus meningkat dan es yang
terus mencair, dapat menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang pada
gilirannya mengakibatkan titik bekunya meningkat. Pada musim dingin permukaan
air di Kutub Utara akan membeku dan menghambat proses pertukaran panas sehingga
dapat mengakibatkan perubahan sirkulasi air laut yang pada gilirannya
mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
2. Gejala Pemanasan Global
Perubahan iklim yang ekstrim dapat mengakibatkan
hilangnya ciri dari sebuah daratan. Entah itu naiknya permukaan laut,
penggurunan, angin musim yang deras, gletser meleleh atau pengasaman laut,
perubahan iklim dengan cepat akan mengubah daratan planet kita.
Tanda-tanda pemanasan global mungkin
sudah terlihat di permukaan bumi. Bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di
negara-negara lain juga ikut terbakar ludes. Dalam beberapa dekade ini,
kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam tempo yang lebih lama
juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini dengan temperatur yang
kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim semi datang lebih awal
sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih kering dari biasanya
dan lebih mudah terbakar. Situs
purbakala cepat rusak akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs
bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa
waktu silam. Banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua.
Tahun 2010, cuaca ekstrim melanda Eropa dan Australia. Warga bumi
mengalami perubahan cuaca yang tidak biasa. Setelah Asia dilanda hujan terus
menerus, sejumlah negara Eropa kini mengalami musim dingin ekstrim. Badai salju terus turun, dan suhu udara turun drastis.
Badan Prakiraan Cuaca Inggris menilai cuaca dingin ini
adalah yang terparah
pemanasan global. Dengan iklim yang hangat membuat udara lebih lembab, yang
dapat memicu badai salju yang lebih parah.
Pada tahun yang sama, peristiwa menarik terjadi di Australia. Tak begitu jauh
dari garis katulistiwa, sebagian wilayah di timur Australia mengalami cuaca
dingin, bahkan sampai bersalju. Bagi kalangan publik dan pengamat setempat, perubahan
cuaca ini terbilang tak biasa. Sejumlah wilayah di Australia, seperti di New
South Wales dan Victoria, umumnya menikmati musim panas di akhir tahun
dengan suhu sekitar 30
derajat celsius. Namun saat itu, suhu bisa mencapai hampir nol derajat celcius,
dengan hujan salju setebal 10 hingga 30 sentimeter. Menurut ahli cuaca di badan prakiraan cuaca Australia, cuaca yang
tidak biasa ini terjadi
akibat udara bertekanan rendah di laut Selatan, yaitu dari perairan Antartika di Kutub
Selatan. Ini menyebabkan cuaca dingin ekstrim yang sedang melanda Eropa terbawa
hingga ke Australia.
Bagaimana nasib Indonesia jika terjadi perubahan
iklim? Indonesia akan kehilangan lahan pesisir dan produksi pangan yang
terdapat di daerah dekat pantai terganggu.
Hal ini akan terjadi jika pemanasan global berkelanjutan, sehingga
menimbulkan permukaan air laut naik.
Di
Indonesia sendiri, tanda-tanda perubahan iklim akibat pemanasan global telah
lama terlihat. Misalnya, sudah beberapa kali ini kita mengalami musim kemarau
yang panjang. Tahun 1982-1983, 1987 dan 1991, kemarau panjang menyebabkan
kebakaran hutan yang luas. Hampir 3,6 juta hektar hutan habis di Kalimatan
Timur akibat kebakaran tahun 1983. Musim kemarau tahun 1991 juga menyebabkan
40.000 hektar sawah dipusokan dan produksi gabah nasional menurun drastis dari
46,451 juta ton menjadi 44,127 juta ton pada tahun 1990. Akibatnya,
pemerintah Indonesia yang sudah mencapai swasembada beras sejak 1984, terpaksa
mengimpor beras dari India, Thailand dan Korea Selatan seharga Rp 200 miliar.
Tahun 2009, Lebih kurang 1.600 hektare
sawah di kawasan Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Subang, Jawa Barat (Jabar)
dilanda kekeringan, dan 11.380 hektare sawah lainnya terancam kekeringan
menyusul musim kemarau panjang yang melanda daerah itu. Kondisi ini diperparah
minimnya pasokan air ke ribuan hektare area pertanian warga.
Kemarau panjang yang mulai sering
terjadi, menurut beberapa pakar diakibatkan oleh fenomena El Nino,
yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31°C sehingga membawa kekeringan
di Indonesia. Para ahli klimatologi menyatakan bahwa siklus kejadian El
Nino berlangsung antara 7 sampai 10 tahun. Jika kita berasumsi bahwa
kemarau pada 1982-83 adalah akibat El Nino, maka seharusnya kemarau
panjang berikutnya terjadi sekitar 1989-90. Namun kita mengalami kemarau
panjang berikutnya di 1987, lima tahun kemudian. Setelah itu, kemarau panjang
kembali terjadi pada 1991, atau empat tahun setelah kemarau 1987.
Selain itu, pada akhir 2004, terjadi gempa bumi
dahsyat di Samudra Hindia, lepas pantai barat Aceh. Gempa yang
berkekuatan 9,3 menurut skala Richter
merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini sehingga mengakibatkan tsunami setinggi 9
meter. Lalu tahun 2011, hujan deras mengguyur berbagai daerah di Indonesia lebih deras dari tahun-tahun yang lalu.
Bahkan di beberapa daerah seperti
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya mengalami
musim hujan bersifat di atas normal. Berdasarkan pemantauan Badan Meteorologi
dan Geofisika, diketahui bahwa musim hujan 2011 sebesar 37,3 persen daerah
mengalami curah hujan di atas normal.
Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh
fenomena kebalikan dari El Nino yaitu La Nina. La Nina adalah
gejala menurunnya suhu permukaan samudera Pasifik yang membawa angin serta awan
hujan ke Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. La Nina yang
terjadi menyebabkan curah hujan tinggi disertai angin topan. Apakah kemarau
panjang dan curah hujan di atas normal yang makin sering terjadi merupakan
kejadian alam biasa atau merupakan akibat pemanasan global? Hal ini memang
belum dapat dipastikan. Namun, jika pemanasan global benar-benar terjadi, maka
yang akan kita alami adalah kemarau
panjang dan curah hujan di atas normal dalam skala yang lebih besar dan lebih luas sehingga dapat menimbulkan
kerugian yang semakin besar.
Tanda-tanda perubahan iklim juga
terlihat pada kondisi beberapa pulau di Kalimantan Timur, khususnya di pulau
Tarakan. Udara yang semakin panas serta
sulitnya mendapatkan air bersih dirasakan oleh seluruh penduduk Tarakan yang
mayoritas bermukim di kawasan pesisir. Tidak hanya itu, kawasan hutan lindung
di Tarakan sudah melebihi dari 30 persen yang diprogramkan pemerintah kota.
Namun hal tersebut baru sebatas luas kawasannya, bukan pada keberadaan
hutannya. Kawasan hutan pantai juga sudah mulai hilang perlahan dan digantikan
sebagai lahan aktifitas manusia sehingga ikut menyebabkan perubahan iklim.
Berdasarkan hasil penelitian organisasi Tim Peduli Lingkungan Tarakan, pada
tahun 2000-2005 lalu, tercatat 100 hektare hutan mangrove terdegradasi dan yang
tersisa saat ini hanya 670 hektare dari sebelumnya seluas 1.250 hektare hutan
mangrove. Selain itu, abrasi di bibir pantai kota Tarakan juga sudah terlihat
dalam beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan pantauan Tim Peduli Lingkungan
sejak 2007 lalu, abrasi tiap tahun mencapai antara 3 hingga 5 meter, salah
satunya di Pantai Amal baru, kelurahan Pantai Amal. Dari data yang ada, dapat
digambarkan bahwa kondisi hutan mangrove di pesisir pantai kota Tarakan sedang
mengalami tekanan yang hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga menyebabkan
hilangnya hutan mangrove dalam jumlah besar. Hal ini tentu dapat menimbulkan
kerugian jika tidak diatasi secepatnya. Mengingat hutan mangrove merupakan
pelindung pantai dari terjadinya abrasi, selain itu sumber ekonomi bagi masyarakat
sekitar karena merupakan tempat perkembangbiakan ikan dan udang serta biota
laut lainnya. Hutan mangrove mengandung zat hara yang dibutuhkan mahluk hidup
serta merupakan tempat berlindung dan asuhan fauna. Banyak bencana dan kerugian
yang terjadi akibat rusak/hilangnya hutan mangrove, seperti abrasi pantai,
intrusi air laut, banjir, hancurnya pemukiman penduduk diterpa badai laut,
hilangnya sumber perikanan alami, dan hilangnya kemampuan dalam meredam emisi
gas rumah kaca.
3. Bencana Besar Akibat Pemanasan Global
Selama 13
tahun terakhir, dua belas tahun diantaranya tercatat sebagai tahun-tahun
terpanas. Dengan akumulasi GRK yang terus berlangsung seperti saat ini, pada
dua sampai tiga dekade mendatang peningkatan pemanasan global akan melampaui
perhitungan yang telah ada selama ini. Sebuah panel internasional para ahli yang tergabung
dalam Inter-Governmental Panel on Climate
Change (IPCC) memperkirakan bahwa pada tahun 2050 temperatur global akan
naik 2-3 derajat celcius. Peningkatan temperature itu akan menimbulkan
bencana besar yakni :
a.
Mencairnya es di kutub Utara dan Selatan
Kutub Utara berada di atas es yang lebih
kecil dan lebih tipis dibandingkan dengan sebelumnya, sementara es tua yang
kuat mulai digantikan es muda yang cepat mencair. Demikian dikatakan beberapa
peneliti di NASA dan National Snow and Ice Data Center di Colorado. Menurut
para peneliti tersebut, maksimum es laut Artik pada musim dingin ini bertambah
15 juta dan 150.000 kilometer persegi, sekitar 720.000 kilometer persegi lebih
kecil dibandingkan dengan rata-rata wilayah Kutub Utara antara tahun 1979 dan
2000. Pada musim dingin normal, es seringkali memiliki ketebalan tiga meter
atau lebih, Namun, pada tahun 2010, ketebalan lapisan es hampir-hampir tak
dapat menembus sasaran yang tepat. Jumlah es laut tebal mencapai tingkat rendah
pada musim dingin dengan luas 680.400 kilometer persegi sehingga turun 43
persen dari tahun sebelumnya.
Bila suhu bumi meningkat hingga 30ºC, diramalkan sebagian belahan bumi
akan tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di
daerah kutub. Sebagai contoh di negara Venesia pernah
mengalami banjir parah pada bulan November 2009, ketika tingkat air mencapai
131 cm. Venesia telah lama tenggelam, tapi naiknya permukaan air laut telah
membuat situasi lebih mengerikan. Frekuensi banjir meningkat setiap tahun, meninggalkan banyak pertanyaan
berapa lama lagi Venesia bisa tinggal di atas air.
b. Meningkatnya level
permukaan laut (sea level rise)
Mencairnya es di kutub Utara dan kutub
Selatan berdampak langsung pada naiknya level permukaan air laut. Peningkatan suhu atmosfer akan diikuti oleh
peningkatan suhu di permukaan air laut, sehingga volume air laut meningkat maka
tinggi permukaan air laut juga akan meningkat. Pemanasan atmosfer akan
mencairkan es di daerah kutub terutama di sekitar pulau Greenland (di sebelah
Utara Kanada), sehingga akan
meningkatkan volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka
air laut di seluruh dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para
ilmuwan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21
sekitar 9 - 88 cm.
Perubahan
tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Dengan
meningkatnya permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan
bukit pasir juga akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka
banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit
peningkatan tinggi muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai, dan
menenggelamkan sebagian dari rawa-rawa pantai. Negara-negara kaya akan
menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya,
sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk
dari daerah pantai.
Indonesia,
Amerika Serikat, dan Bangladesh adalah beberapa negara yang paling terancam
tenggelam. Bahkan beberapa pulau di Indonesia sudah hilang tenggelam. Ini
disebabkan mencairnya permukaan gletser di kutub yang membuat volume air laut
meningkat drastis. Satu lagi pulau Indonesia terancam tenggelam yang di
beritakan beberapa media pada April 2010. Setelah
diketahui 13 pulau hilang sejak terjadi tsunami pada 1907 di periran Kabupaten
Simueulu hingga tsunami 2005 di Nias, Sumatra Utara, sekarang di-informasikan
ada satu pulau lagi mulai timbul tenggelam di permukaan laut yakni pulau Gosong Kasih. Kondisi
Pulau Gosong Kasih sekarang sering timbul tenggelam. Ketika terjadi pasang,
daratan itu tenggelam oleh air laut, sedangkan saat sedang surut tampak kembali
ke atas permukaan perairan Samudera Hindia. Daratannya tidak hilang tapi sering
tenggelam karena permukaan air laut naik. Hal ini tidak lain akibat dari efek
pemanasan global atau pengaruh gempa bumi yang sering terjadi di perairan barat
selatan Aceh. Oleh karena itu, pemukaan air semakin naik atau struktur daratan
pulau turun dari posisi semula.
c.
Perubahan Iklim/cuaca yang semakin
ekstrim
Pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya
perubahan cuaca dan iklim bumi. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat
diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di
tempat yang lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan
kecenderungan semakin lama semakin kuat. Kita tentu menyadari betapa panasnya
suhu di sekitar kita belakangan ini dan dapat melihat betapa tidak dapat
diprediksinya kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan
kerugian bagi petani karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim
kemarau ternyata malah hujan. Ladang tani, perkebunan
yang biasanya menghasilkan akan musnah oleh banjir atau kekeringan. Penduduk
akan di buat makin menderita karena stok bahan pangan dan kebutuhan pokok
lainnya akan jauh berkurang dan harganya pasti akan melambung naik. Pemerintah
juga membutuhkan biaya yang banyak untuk membangun kembali wilayah yang terkena
bencana dan menanggulangi penyakit yang mewabah. Afrika, India, dan
daerah-daerah kering lainnya bakal menderita kekeringan lebih parah. Air akan
makin sulit di dapat dan tanah tak bisa ditanami apa-apa lagi, hingga suplai
makanan berkurang drastis. Ilmuwan memperkirakan hasil tani negara-negara
Afrika akan menurun 50 persen di tahun 2020 , dan tingkat kekeringan di dunia
meningkat 66 persen . Tak terbayang kalau kekeringan ini sampai terjadi di bumi
ini.
Kita juga dapat mencermati kasus-kasus
badai ekstrim yang belum pernah melanda wilayah-wilayah tertentu di Indonesia.
Tahun-tahun belakangan ini kita makin sering dilanda badai-badai yang
mengganggu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik via laut maupun udara.
Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang luput dari perubahan iklim yang
ekstrim ini. Cuaca ekstrim di Indonesia terbagi atas beberapa bagian, yaitu
curah hujan yang tinggi (disertai petir dan angin kencang), naiknya gelombang
air laut, terbatasnya jarak pandang, kecepatan angin kencang di atas rata-rata,
adanya puting beliung, dan lain-lain. Efek yang paling dirasakan oleh Indonesia
dari cuaca ekstrim adalah tingginya tingkat curah hujan, yang mengakibatkan
timbulnya banjir di daerah-daerah tertentu.
d.
Gelombang panas menjadi semakin
ganas
Pemanasan global mengakibatkan gelombang panas
menjadi semakin sering terjadi dan semakin kuat. Pada tahun 2003, daerah Eropa
Selatan pernah mendapat serangan gelombang panas hebat yang mengakibatkan tidak
kurang dari 35.000 orang meninggal dunia dengan korban terbanyak dari Perancis
(14.802 jiwa). Perancis merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak karena
tidak siapnya penduduk dan pemerintah setempat atas fenomena gelombang panas
sebesar itu. Gelombang panas ini juga menyebabkan kekeringan parah dan
kegagalan panen merata di daerah Eropa. Mungkin kita tidak mengalami
gelombang-gelombang panas maha dahsyat seperti yang dialami oleh Eropa dan
Amerika Serikat, tetapi melalui pengamatan dan dari apa yang kita rasakan
sehari-hari betapa panasnya suhu di sekitar kita.
Sebanyak 30 persen mahkluk
hidup yang ada sekarang bakal musnah tahun 2050 kalau temperatur bumi
terus naik. Spesies yang punah ini kebanyakan yang habitatnya di tempat dingin.
Hewan-hewan laut diperkirakan banyak yang tak bisa bertahan setelah suhu air
laut jadi menghangat. Kalau tumbuhan dan hewan makin berkurang, jelas manusia
akhirnya terancam karena kekurangan bahan makanan.
e.
Menipisnya Gletser- sumber air
bersih dunia
Gletser adalah daratan
yang terbuat dari es. Gletser bakal ikut meleleh dan menciut seiring dengan
bertambahnya suhu bumi. Suhu bumi meningkat karena tingginya emisi gas rumah
kaca di atmosfer. Selama tahun 1990- 2005 saja suhu bumi naik 0,15
- 0,3 derajat celcius. Gletser Himalaya yang memasok air ke sungai Gangga
sekaligus menyediakan irigasi dan suplai air minum untuk 500 juta
penduduk,menyusut 37 meter pertahun.Gletser di kutub semakin cepat mencair
hingga membuat permukaan air laut di bumi naik. Mencairnya
gletser-gletser dunia mengancam ketersediaan air bersih, dan pada jangka
panjang akan turut menyumbang peningkatan level air laut dunia. Dan sayangnya
itulah yang terjadi saat ini. Gletser-gletser dunia saat ini mencair hingga
titik yang mengkhawatirkan.
f. Perubahan Lingkungan Picu
Munculnya Konflik
Negara yang kekurangan air dan bahan
pangan kemungkinan besar akan mengalami panik dan berubah jadi agresif. Lalu
bukan tak mungkin mereka berusaha saling merebut lahan yang belum rusak.
Tony Karbo, Ph.D., program officer for
UPEACE, mengatakan perubahan lingkungan dapat memicu munculnya konflik yang
mengarah pada kekerasan. Perubahan tersebut timbul sebagai dampak eksploitasi
sumber daya alam yang pada akhirnya mengakibatkan kelangkaan dan kerusakan
lingkungan hidup. terdapat beberapa jenis perubahan lingkungan yang berpotensi
melahirkan konflik. Perubahan lingkungan yang dimaksud, antara lain, perubahan
iklim akibat efek rumah kaca, menipisnya lapisan ozon dan ketersediaan air
bersih, serta menurunnya kualitas tanah pertanian akibat sistem konversi tanah.
kelangkaan sumber daya alam mendorong migrasi secara besar-besaran. Adanya
perpindahan penduduk berdampak pada berkurangnya produktivitas ekonomi yang
melemahkan suatu wilayah. Pada akhirnya, hal tersebut akan melahirkan konflik
antar-etnis dan berbagai bentuk kekerasan ekonomi.
Komentar
Posting Komentar