pengaruh iklim terhadap peternakan
3.1 SEJARAH PETERNAKAN
Sistem peternakan diperkirakan telah ada sejak 9.000 SM yang dimulai
dengan domestikasi anjing, kambing, dan domba. Peternakan semakin berkembang
pada masa Neolitikum, yaitu masa ketika manusia mulai tinggal menetap dalam
sebuah perkampungan. Pada masa ini pula, domba dan kambing yang semula hanya
diambil hasil dagingnya, mulai dimanfaatkan juga hasil susu dan hasil bulunya (wol).
Setelah itu manusia juga memelihara sapi dan kerbau untuk diambil hasil kulit
dan hasil susunya serta memanfaatkan tenaganya untuk membajak tanah.Manusia
juga mengembangkan peternakan kuda, babi, unta, dan lain-lain.
Ilmu pengetahuan tentang peternakan, diajarkan di banyak universitas
dan perguruan tinggi di seluruh dunia. Para siswa belajar disiplin
ilmu seperti ilmu gizi, genetika dan budi-daya, atau ilmu reproduksi. Lulusan
dari perguruan tinggi ini kemudian aktif sebagai doktor haiwan, farmasi ternak,
pengadaan ternak dan industri makanan.
Dengan segala keterbatasan peternak, perlu dikembangkan sebuah
sistem peternakan yang berwawasan ekologis, ekonomis, dan berkesinambungan
sehingga peternakan industri dan peternakan rakyat dapat mewujudkan ketahanan
pangan dan mengantasi kemiskinan.
Teori ilmu peternakan tersebut untuk
diaplikasikan pada semua golongan ternak :
- Ternak unggas, yaitu : ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam kampung pedaging, ayam kampung petelur, itik pedaging, itik petelur, dan puyuh.
- Ternak ruminansia, yaitu : sapi pedaging, sapi perah, kerbau, domba, kambing pedaging dan kambing perah, .
- Ternak monogastrik, yaitu, : kuda, babi dan kelinci.
3.
2 HUBUNGAN IKLIM DENGAN DUNIA PETERNAKAN
Dunia
peternakan adalah dunia yang berkaitan dengan hewan ternak. Siapa pun yang
berkecimpung di dalam dunia peternakan biasanya mengusahakan produksi hasil
ternak yang maksimal dengan waktu yang lebih cepat dan menyalurkan ke berbagai
anggota masyarakat untuk segera dikonsumsikan.
Untuk menghasilkan hasil ternak yang
maksimal harus memerhatikan kebutuhan dari ternak tersebut. Contohnya pada
hewan ternak sapi perah, sapi perah akan mencapai hasil produksi susu yang
maksimal apabila di tempatkan di daerah yang sejuk atau dataran tinggi. Berarti
unsur iklim dalam peternakan sapi perah sangat penting karena sapi perah
temasuk hewan ternak yang adaptasinya rendah atau termasuk hewan yang sulit
beradaptasi.
Ilmu klimatologi sangat berguna
untuk penempatan ternak yang baik untuk menghasilkan produksi yang maksimal.
Contohnya sapi perah dapat menghasilkan susu 56 % daripada daerah tropis dan
iklim mempengaruhi kandungan susu, lemak, bahan kering tanpa lemak, dan jumlah
produksinya.
Dalam ternak juga ada proses yang
kompleks dimana seekor hewan menyesuaikan diri pada lingkungan dimana ternak
itu hidup disebut aklimatasi.
Berikut
penggolongan ternak berdasarkan aklimatasi :
1. Aklimatasi
tinggi : Unta, Kambing, dan
Domba.
2. Aklimatasi
rendah : Sapi, Ayam, dan Babi.
Peternakan yang baik harus
memperhatikan kualitas dan kuantitas yang tersedia di daerah sekitar kandang
ternak itu sendiri seperti makanan atau hijauan pada sapi perah dan air yang
diminum mempengaruhi daya produksi.
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam waktu yang panjang. Iklim
mempunyai pengaruh yang besar terhadap ternak, yaitu dapat membantu atau
menganggu kelangsungan hidup dari ternak. Iklim sendiri meliputi :
1. Curah hujan
Curah hujan
sangat penting bagi peternakan. Dengan curah hujan penyediaan air minum dan
kelangsungan pengadaan makanan ternak sepanjang tahun dan sebaiknya peternak
mengetahui peta hujan. Curah hujan ini sangat berguna, karena dengan begitu
para peternak bisa merencanakan dan memanajemen dengan baik masa birahi.
2. Temperatur
Dengan
mengetahuinya temperatur suatu daerah para peternak dapat menempatkan jenis
ternak apa yang sesuai dengan tempat yang dipilih. Karena temperatur yang panas
atau terlalu dingin sangat mempengaruhi produktififtas ternak. Ternak lokal
dapat bertahan dengan suhu yang panas, sedangkan ternak yang berasal dari
subtropics yang telah disilangkan dengan ternak lokal dapat bertahan ditempat
yang bersuhu sedang.
3. Kelembaban
udara
Kelembaban
udara yang terlalu tinggi sangat mempengaruhi kesehatan ternak, baik itu pada
pernafasannya, pertumbuhan parasit pada ternak, ataupun penyakit lainnya yang
merugikan. Kelembaban ini berbanding terbalik dengan temperature.
4. Kecepatan
angin
Dengan
kecepatan udara yang normal sangat baik untuk kesegaran ternak dan kecepatan
angin dapat juga digunakan untuk kincir angin yang dapat digunakan untuk
kebutuhan manusia dalam sumber listrik juga pengadaan air untuk daerah yang
kecepatan angin juga membantu ternak dalam melepaskan panas temperatur
tubuhnnya.
Jadi pada intinya iklim yang meliputi curah hujan, temperatur,
kelembaban udara, radiasi matahari, kecepatan angin, dan pH harus kita pelajari
dan harus bisa mengaplikasikannya karena berpengaruh besar terhadap kehidupan
dan produksi ternak.
3.3 PENGARUH IKLIM TERHADAP TERNAK
Berdasarkan
gambaran curah hujan, Mohr (1933) membagi daerah-daerah di Indonesia ke dalam 5
golongan, yaitu sebagai berikut :
1. Daerah
basah, yakni daerah yang hampir setiap bulannya mempunyai curah hujan minimal
60 mm.
2. Daerah agak
basah, yakni daerah dengan periode kering yang lemah dan terdapat satu bulan
kering.
3. Daerah agak
kering, yaitu daerah-daerah yang mengalami bulan-bulan kering sekitar 3-4 bulan
setiap tahunnya.
4. Daerah
kering, yakni daerah yang mengalami bulan-bulan kering yang lamanya mencapai 6
bulan.
5. Daerah
sangat kering, yakni daerah dengan masa kekeringan yang panjang dan parah.
Sementara
Schmidt dan Ferguson (1951) membagi iklim di Indonesia menjadi 8 golongan,
yaitu golongan A (sangat basah), golongan B (basah), golongan C (agak basah),
golongan D (sedang), golongan E (agak kering), golongan F (kering), golongan G
(sangat kering), dan golongan H (luar biasa kering).
Pengaruh Iklim Terhadap Ternak
Iklim sangat
berpengaruh terhadap hewan ternak. Beberapa ahli mempelajari pengaruh iklim
terhadap objek yang spesifik, di antaranya iklim berpengaruh terhadap bentuk
tubuh (Hukum Bergmann), insulasi pelindung atau kulit dan bulu (Hukum Wilson),
warna (Hukum Gloger), tubuh bagian dalam/internal (Hukum Claude Bernard), dan
kesehatan dan produksi ternak. Temperatur lingkungan mempengaruhi penggunaan
energi yang diperoleh ternak dari makanan, produksi panas, dan disipasi panas
hewan ternak ke lingkungannya. Radiasi sinar matahari
terhadap hewan ternak dapat menimbulkan
dua bentuk gangguan umum, yaitu mutasi gen oleh radiasi kosmik dan kerusakan
sel kulit oleh sinar ultra violet pada proses 'sunburn'. Hewan ternak mempunyai
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.
Pengaruh iklim terhadap ternak ada 2 yaitu :Pengaruh Secara Langsung
Perilaku
merumput
Lamanya waktu
merumput saat siang hari sangat dipengaruhi oleh iklim, bangsa, kualitas, tipe
mamalia, dan pastur yang tersedia (padang rumput). Jika ternak digembalakan
pada daerah bukan asalnya, maka masa merumput akan berkurang .
Pengunaan
makanan dan pengambilan makanan
Jika suatu
tempat memiliki temperatur yang tinggi maka akan mempengaruhi pengambilan
makanan pada ternak, semakin tinggi temperatur maka semakin sedikit makan
karena akan lebih banyak minum. Jika temperatur lebih dari 40°maka ternak akan
berhenti memamah biak.
Air yang
diminum (water intake )
Air sangat
penting bagi ternak sebab air mempunyai peran yang penting dalam metabolisme
ternak, selain itu air juga membantu ternak melepaskan panas tubuhnya secara
konduksi dan penguapan, keperluan air ini akan meningkat apabila temperatur
naik.
Mempengaruhi
efisiensi pengunaan makanan
Ternak dapat
mengalami heat stress apabila iklim suatu tempat panas, sehingga ternak tidak
banyak melakukan gerak untuk menjaga suhu tubuhnya tetap stabil.
Hilangnya
zat-zat makanan
Semakin sering
ternak berkeringat dan mengeluarkan air ludah maka akan semakin banyak zat
makanan yang hilang. Ternak mamalia apabila mereka berkeringat maka mereka akan
kehilangan air dan mineral dari dalam tubuhnya.
Pengaruh
terhadap pertumbuhan
Menurunnya
nafsu makan pada ternak disebabkan temperatur yang sangat tinggi akibatnya feed
intake ternak pun akan menurun dan juga mempengaruhinya lamanya merumput dan
akhirnya juga mempengaruhi produktififtas dari ternak.
Pengaruh iklim
terhadap produksi susu
Sapi perah
dapat menghasilkan susu 56 % pada daerah subtropics, berbeda dengan daerah
tropis sapi perah lebih sedikit menghasilkan susu. Iklim juga sangat
mempengaruhi kandungan susu, lemak, bahan kering.
Pengaruhi
tingkah laku ternak
Iklim dapat
mengakibatkan ternak mengalami stress yang dapat dilihat dari tingkah laku
ternak itu sendiri. Faktor internal dan eksternal merupakan faktor yang dapat
menyebabkan strees pada ternak.
Faktor Internal
terdiri dari : penyakit ,vaksinasi ,penyapihan.
Faktor
Eksternal terdiri dari : cuaca ,makanan dan lingkungan
Pengaruh Secara Tidak Langsung
Kualitas dan
kuantitas makanan yang tersedia
Seperti:
makanan yang dimakan, air yang diminum, dan mempengaruhi kandungan gizi dari
tanaman yang dimakan serta daya cerna yang rendah karena serat kasarnya sangat
tinggi akan mempengaruhi daya produsi menjadi rendah
Adanya parasit
dan penyakit
Lingkungan dengan
panas dan kelembaban yang tinggi merupakan tempat yang baik bagi jamur,
parasit, nyamuk, lalat, dan penyakit lain. Pengaruh iklim secara tidak langsung
terhadap parasit penyakit karena pada daerah tropis yang curah hujannya hanya
cukup untuk tumbuhnya semak-semak. Dengan adanya semak-semak menyebabkan
berkembangbiaknya nyamuk yang dapat mengakibatkan penyakit tidur dan dapat
menyebabkan kematian yang mempengaruhi proses metabolisme ternak terserang.
Penyimpanan dan
panangan hasil ternak
Iklim tropis
baik lembab/kering dapat merusak hasil ternak dan oleh sebab itu maka biaya
prosessing dan penanganya bertambah Aklimatasi merupakan proses yang kompleks
dimana seekor hewan menyesuaikan diri pada lingkungan dimana ternak tersebut
hidup.
Pada dasarnya semua hewan atau ternak yang berdarah panas disebut
Hormoiotermis yaitu hewan atau ternak yang relatif berusaha mempertahankan suhu
tubuhnya pada kisaran yang cocok agar terjadi aktifitas biologis yang optimum,
sedangkan untuk hewan atau ternak yang suhu tubuhnya tidak dipengaruhi
lingkungan disebut Polikolitermis.
3.4 MANFAAT DAN HASIL BETERNAK
Manfaat yang dapat diambil dari usaha beternak kambing selain
diambil hasil dagingnya, kambing dapat diambil hasil kulitnya, kotorannya dapat
dimaanfaatkan untuk pupuk dan hasil tulangnya juga dimanfaatkan. Bahkan
jenis-jenis kambing tertentu dapat dimbil hasil susunya, hasil bulunya untuk
bahan kain wol.
Manfaat yang dapat diambil dari usaha beternak lebah Apis mellifera
yang bibit awalnya didatangkan dari Australia adalah jasanya untuk polinasi
(penyerbukan) tanaman, banyak pemilik perkebunan di luar Indonesia yang menyewa
koloni lebah dari peternak untuk melakukan penyerbukan tanaman di perkebunannya.
Perkebunan yang sering menyewa koloni lebah adalah perkebunan apel.
Beternak kelinci juga banyak memiliki manfaat, diantaranya yaitu
daging yang dapat diambil untuk menambah gizi keluarga, penambah penghasilan
keluarga, kulit kelinci dapat dijual untuk bahan industri, kotoran serta air
kencingnya dapat kita jual untuk dijadikan pupuk tanaman serta untuk bahan
bakar biogas.
Manajemen pemeliharaan ternak diperkenalkan sebagai upaya untuk
dapat memberikan keuntungan yang optimal bagi pemilik peternakan. Dalam
manajemen pemeliharaan ternak dipelajari, antara lain :Seleksi Bibit, Pakan,
Kandang, Sistem Perkawinan, Kesehatan Hewan, Tata Laksana Pemeliharaan dan Pemasaran.
Pakan yang berkualitas baik atau mengandung gizi yang cukup akan berpengaruh baik
terhadap yaitu tumbuh sehat, cepat gemuk, berkembangbiak dengan baik, jumlah
ternak yang mati atau sakit akan berkurang, serta jumlah anak yang lahir dan
hidup sampai disapih meningkat. Singkatnya, pakan dapat menentukan kualitas
ternak. Selain itu berdasarkan penelitian, hasil dari kualitas pupuk dari
ternak potong dengan ternak perah berbeda.Ternak yang diberi makanan bermutu
(seperti ternak perah)akan menghasilkan pupuk yang berkualitas baik, sebaliknya
ternak yang makanannya kurang baik juga akan menghasilkan pupuk yang
kualitasnya rendah.
3.5 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP
PENYAKIT HEWAH
Perubahan iklim dan
perubahan lingkungan adalah sebagian kecil dari perubahan ekosistem yang lebih
besar yang mampu mempengaruhi munculnya penyakit hewan baru dan yang muncul
kembali (Black and Nunn, 2008).
Sebagaimana disampaikan diatas, perubahan iklim memiliki dampak nyata terhadap ternak dan jenis hewan lainnya melalui penyakit. Belakangan ini banyak laporan studi yang disusun oleh para ahli yang menerangkan secara detil pengetahuan tentang perubahan eksosistem, termasuk perubahan iklim dan perubahan lingkungan yang pada kenyataannya berlangsung lebih cepat dari yang diharapkan.
Kesehatan hewan dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim melalui empat cara yaitu penyakit-penyakit dan stres yang berkaitan dengan cuaca panas, kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim, adaptasi sistem produksi ternak terhadap lingkungan baru, dan penyakit hewan yang muncul baru dan yang muncul kembali (Forman et al., 2008).
Sebelum isu perubahan iklim muncul sekarang ini, sudah diketahui dengan baik bahwa banyak penyakit menular yang menjangkiti hewan maupun manusia mengikuti pola musim dan banyak diantara keragaman musim tersebut berakibat langsung atau tidak langsung terhadap keragaman cuaca dan iklim.
Keterkaitan antara iklim dan penyakit relatif mudah untuk diidentifikasi. Dinamika penularan dan penyebaran geografis sebagian besar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui insekta dan rodensia sangat sensitif terhadap iklim. Kebanyakan penyakit yang ditularkan melalui vektor mencakup spesies arthropoda seperti nyamuk, lalat, caplak atau kutu.
Sebagian siklus hidup dari agen patogen berada dalam tubuh arthropoda yang mudah dipengaruhi perubahan lingkungan. Perubahan cuaca dan iklim yang dapat mempengaruhi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor meliputi temperatur, curah hujan, angin, banjir besar atau kekeringan dan kenaikan permukaan air laut.
Rodensia adalah penyebab sumber sejumlah penyakit zoonosis (termasuk Hantavirus, plague dan leptospirosis). Agen patogen yang ada dalam tubuh roden secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menentukan besarnya populasi rodensia dan banjir, sehingga dapat mendorong roden-roden tersebut untuk mencari sumber makanan dan mengungsi ke tempat lain (Patz et al., 2008). Wabah Hantavirus di bagian barat selatan Amerika Serikat secara jelas berkaitan dengan dampak El Nino terhadap populasi rodensia.
Sebagaimana disampaikan diatas, perubahan iklim memiliki dampak nyata terhadap ternak dan jenis hewan lainnya melalui penyakit. Belakangan ini banyak laporan studi yang disusun oleh para ahli yang menerangkan secara detil pengetahuan tentang perubahan eksosistem, termasuk perubahan iklim dan perubahan lingkungan yang pada kenyataannya berlangsung lebih cepat dari yang diharapkan.
Kesehatan hewan dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim melalui empat cara yaitu penyakit-penyakit dan stres yang berkaitan dengan cuaca panas, kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim, adaptasi sistem produksi ternak terhadap lingkungan baru, dan penyakit hewan yang muncul baru dan yang muncul kembali (Forman et al., 2008).
Sebelum isu perubahan iklim muncul sekarang ini, sudah diketahui dengan baik bahwa banyak penyakit menular yang menjangkiti hewan maupun manusia mengikuti pola musim dan banyak diantara keragaman musim tersebut berakibat langsung atau tidak langsung terhadap keragaman cuaca dan iklim.
Keterkaitan antara iklim dan penyakit relatif mudah untuk diidentifikasi. Dinamika penularan dan penyebaran geografis sebagian besar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui insekta dan rodensia sangat sensitif terhadap iklim. Kebanyakan penyakit yang ditularkan melalui vektor mencakup spesies arthropoda seperti nyamuk, lalat, caplak atau kutu.
Sebagian siklus hidup dari agen patogen berada dalam tubuh arthropoda yang mudah dipengaruhi perubahan lingkungan. Perubahan cuaca dan iklim yang dapat mempengaruhi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor meliputi temperatur, curah hujan, angin, banjir besar atau kekeringan dan kenaikan permukaan air laut.
Rodensia adalah penyebab sumber sejumlah penyakit zoonosis (termasuk Hantavirus, plague dan leptospirosis). Agen patogen yang ada dalam tubuh roden secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menentukan besarnya populasi rodensia dan banjir, sehingga dapat mendorong roden-roden tersebut untuk mencari sumber makanan dan mengungsi ke tempat lain (Patz et al., 2008). Wabah Hantavirus di bagian barat selatan Amerika Serikat secara jelas berkaitan dengan dampak El Nino terhadap populasi rodensia.
Begitu juga penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan cuaca panas (heat-related diseases) dimana ternak bukan
hanya mudah mengalami stress, akan tetapi juga menurunkan produktivitas dan
fertilitas. Di bawah kondisi stres cuaca panas, siklus birahi sapi dapat
menjadi lebih panjang, tanda-tanda birahi menjadi lemah dan terjadi peningkatan
kematian fetus (Forman et al., 2008).
Dari survei yang dilakukan OIE, 71-72% dari jumlah negara anggota OIE menyatakan kekhawatirannya terhadap adanya kaitan antara penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali dengan perubahan iklim dan perubahan lingkungan. Diantaranya 58% menyatakan paling tidak satu penyakit yang baru muncul dan muncul kembali dipercaya memiliki hubungan langsung dengan perubahan iklim dan 30% menyatakan paling tidak satu penyakit memiliki hubungan dengan perubahan lingkungan.
Sebanyak 24% tidak yakin bahwa penyakit baru dan muncul kembali berhubungan langsung dengan perubahan lingkungan dan hanya 6% dengan perubahan iklim. Penyakit-penyakit yang paling banyak disebutkan berhubungan dengan perubahan iklim atau perubahan lingkungan.
Dari survei yang dilakukan OIE, 71-72% dari jumlah negara anggota OIE menyatakan kekhawatirannya terhadap adanya kaitan antara penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali dengan perubahan iklim dan perubahan lingkungan. Diantaranya 58% menyatakan paling tidak satu penyakit yang baru muncul dan muncul kembali dipercaya memiliki hubungan langsung dengan perubahan iklim dan 30% menyatakan paling tidak satu penyakit memiliki hubungan dengan perubahan lingkungan.
Sebanyak 24% tidak yakin bahwa penyakit baru dan muncul kembali berhubungan langsung dengan perubahan lingkungan dan hanya 6% dengan perubahan iklim. Penyakit-penyakit yang paling banyak disebutkan berhubungan dengan perubahan iklim atau perubahan lingkungan.
3.6 PENGARUH
PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PENYAKIT-PENYAKIT HEWAN
Dalam literatur ilmiah dijelaskan berbagai proses perubahan
iklim dapat mempengaruhi penyakit-penyakit hewan. Proses ini mulai dari yang
gambarannya jelas sampai kepada yang masih hipotesis. Namun diyakini bahwa
proses tersebut dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap agen
patogen atau parasit, induk semang, vektor (atau jika ada induk semang
perantara), dinamika epidemiologi penyakit atau lingkungan alamiahnya. Hanya
beberapa dari proses tersebut diharapkan dapat diterapkan terhadap setiap
penyakit (Baylis and Githeko, 2006).
Bluetongue
Antara tahun 1998 dan 2005, satu setengah sampai dua juta ekor domba mati di Eropa akibat bluetongue, suatu penyakit infeksi viral ruminansia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Culicoides (Purse et al., 2005). Penyebaran vektor sangat bergantung kepada variabel lingkungan seperti suhu, kelembaban dan angin (Melor et al., 2000). Virus bluetongue dapat terbawa sampai sejauh ratusan kilometer ke laut oleh angin yang menerbangkan vektor Culicoides yang terinfeksi virus.
Rift Valley fever
Rift Valley fever (RVF) adalah penyakit viral bersifat zoonosis yang menyerang domba dan sapi yang ditularkan oleh nyamuk jenis Aedes dan Culex. Wabah RVF dihubungkan dengan periode curah hujan tinggi dan banjir (Davies et al., 1985: Linthicum et al., 1987; Linthicum et al., 1999).
Di Afrika Timur, wabah dikaitkan dengan curah hujan tinggi setelah terjadi kekeringan yang dikaitkan dengan El Nino. Wabah RVF yang terjadi di wilayah perbatasan Kenya dan Somalia menyebabkan dua ribu orang meninggal dan kematian dua pertiga populasi ternak ruminansia kecil di wilayah tersebut (Little et al. 2001).
West Nile
Keragaman iklim mempunyai dampak terhadap virus West Nile, suatu penyakit yang menyebar di bagian barat belahan bumi. Pengamatan terhadap penyakit ini menunjukkan bahwa virus ini memerlukan temperatur yang lebih panas untuk menghasilkan penularan yang efektif. Seperti dibuktikan di Amerika Serikat dimana wabah yang berlangsung selama musim panas pada tahun 2002 dan 2004 dihubungkan dengan temperatur yang diatas rata-rata.
Suhu juga mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan kemampuan hidup dari nyamuk jenis Aedes dan Culex serta tingkat gigitan dan daya tahan nyamuk dewasa betina (Madder et al., 1983; Buth et al., 1990; Rueda et al., 1990; Turell et al., 2001; Dohm et al., 2002). Begitu juga temperatur musim panas dikaitkan dengan wabah-wabah West Nile di Afrika Selatan dan Rusia (McIntosh et al., 1976; Jupp et al., 1986; Platonov et al., 2001).
African horse sickness
African horse sickness (AHS) adalah penyakit menular mematikan yang menyerang kuda. Disebabkan oleh suatu virus yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Culicoides. Wabah besar AHS di Republik Afrika Selatan sepanjang 200 tahun terakhir dihubungkan dengan kombinasi kekeringan dan curah hujan tinggi yang dibawa hawa panas El Nino (Baylis et al., 1999).
Leishmaniasis
Leishmaniasis adalah penyakit protozoa yang manifestasi klinisnya bergantung kepada spesies Leishmania dan respon imunologis dari induk semang. Penyakit ini ditularkan oleh lalat dan ditemukan di 88 negara, baik negara tropis maupun non-tropis dan juga di Eropa bagian selatan (Ashford, 1997).
Kejadian leishmaniasis sebanyak 12 juta kasus di seluruh dunia dan insidens bentuk klinis secara global mencapai 2 juta kasus baru per tahun. Penelitian belakangan ini mengamati bahwa kondisi lingkungan yang berubah disebabkan oleh praktek-praktek baru di sektor pertanian dan irigasi berkaitan dengan kenaikan kasus leishmaniasis kutaneus pada manusia (Alten et al., 1999; Toprak, 2003; Svobodova et al., 2003).
Pasteurellosis
Pasteurella multocida sebagai penyebab harmorrhagic septicaemia (pasteurellosis) pada sapi, dapat bertahan baik di luar tubuh induk semang dalam lingkungan yang lembab. Penyakit ini juga berhubungan dengan area yang kelembabannya tinggi dan terjadi selama musim hujan (Hall, 1988).
Avian influenza
Meskipun kaitan antara perubahan iklim dan avian influenza (AI) belum banyak digali secara lebih mendalam, akan tetapi sulit untuk dibantahkan bahwa virus AI bersirkulasi secara alamiah dalam bentuk ‘pool gen’ pada unggas air liar, terutama itik dan angsa migran (Gilbert et al., 2008).
Penyakit AI adalah penyakit unggas yang berevolusi dari virus yang berpatogenisitas rendah yang bersirkulasi pada populasi unggas liar dan diintrodusir ke populasi unggas daratan dengan ukuran kelompok atau kepadatan tertentu. Infeksi virus AI H5N1 merupakan hasil pelimpahan dari unggas domestik ke unggas liar. Panzootik AI yang diawali sejak 2003 sampai sekarang sudah mencakup 61 negara tertular. Perubahan iklim mempengaruhi migrasi burung, siklus penularan virus AI dan berdampak secara langsung terhadap daya tahan virus di luar tubuh induk semang.
Meskipun dampak perubahan iklim agak sulit untuk diprediksi, akan tetapi sangat besar kemungkinannya bahwa sirkulasi virus AI dalam populasi unggas air akan terus beradaptasi dan berevolusi tanpa akhir. Pada unggas domestik, sedikit sekali yang diketahui tentang dampak langsung perubahan lingkungan terhadap penularan dan persistensi virus untuk menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan dampak perubahan iklim. Namun tidak dapat diabaikan adanya kemungkinan kaitan tidak langsung dengan perubahan dalam penyebaran integrasi budidaya itik dengan tanaman.
Kesinambungan penularan AI hanya terjadi pada populasi spesies unggas domestik yang padat seperti misalnya pasar becek, perusahaan komersial besar dan flok itik yang bebas berkeliaran (Gilbert et al, 2006). Kondisi ini dapat menjadi berlebihan sebagai dampak perubahan lingkungan termasuk perubahan iklim jangka panjang, berkaitan dengan pola curah hujan dan perubahan suhu yang mempengaruhi persistensi virus AI di lingkungan, ekologi induk semang dan lain sebagainya (Olsen et al., 2006; Kapan et al., 2006).
Anthrax
Anthrax adalah suatu penyakit menular akut yang menyerang kebanyakan hewan-hewan berdarah panas maupun manusia dengan penyebaran seluruh dunia. Organisme penyebab adalah bakteri Bacillus anthracis, mampu membentuk spora yang tetap infektif selama 10-20 tahun di padang rumput. Temperatur dan kelembaban relatif serta kelembaban tanah semuanya mempengaruhi spora anthrax, bahkan curah hujan yang tinggi dapat membongkar spora anthrax yang sedang tidur (dormant). Wabah anthrax seringkali berkaitan bergantian antara curah hujan tinggi dan kekeringan, serta suhu tinggi (Parker et al., 2002).
Blackleg
Blackleg adalah suatu penyakit clostridial menular akut yang kebanyakan menyerang sapi muda dan juga mampu membentuk spora. Wabah penyakit selalu dikaitkan dengan area dengan kelembaban tinggi dan terjadi selama musim hujan (Hall, 1988).
Bluetongue
Antara tahun 1998 dan 2005, satu setengah sampai dua juta ekor domba mati di Eropa akibat bluetongue, suatu penyakit infeksi viral ruminansia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Culicoides (Purse et al., 2005). Penyebaran vektor sangat bergantung kepada variabel lingkungan seperti suhu, kelembaban dan angin (Melor et al., 2000). Virus bluetongue dapat terbawa sampai sejauh ratusan kilometer ke laut oleh angin yang menerbangkan vektor Culicoides yang terinfeksi virus.
Rift Valley fever
Rift Valley fever (RVF) adalah penyakit viral bersifat zoonosis yang menyerang domba dan sapi yang ditularkan oleh nyamuk jenis Aedes dan Culex. Wabah RVF dihubungkan dengan periode curah hujan tinggi dan banjir (Davies et al., 1985: Linthicum et al., 1987; Linthicum et al., 1999).
Di Afrika Timur, wabah dikaitkan dengan curah hujan tinggi setelah terjadi kekeringan yang dikaitkan dengan El Nino. Wabah RVF yang terjadi di wilayah perbatasan Kenya dan Somalia menyebabkan dua ribu orang meninggal dan kematian dua pertiga populasi ternak ruminansia kecil di wilayah tersebut (Little et al. 2001).
West Nile
Keragaman iklim mempunyai dampak terhadap virus West Nile, suatu penyakit yang menyebar di bagian barat belahan bumi. Pengamatan terhadap penyakit ini menunjukkan bahwa virus ini memerlukan temperatur yang lebih panas untuk menghasilkan penularan yang efektif. Seperti dibuktikan di Amerika Serikat dimana wabah yang berlangsung selama musim panas pada tahun 2002 dan 2004 dihubungkan dengan temperatur yang diatas rata-rata.
Suhu juga mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan kemampuan hidup dari nyamuk jenis Aedes dan Culex serta tingkat gigitan dan daya tahan nyamuk dewasa betina (Madder et al., 1983; Buth et al., 1990; Rueda et al., 1990; Turell et al., 2001; Dohm et al., 2002). Begitu juga temperatur musim panas dikaitkan dengan wabah-wabah West Nile di Afrika Selatan dan Rusia (McIntosh et al., 1976; Jupp et al., 1986; Platonov et al., 2001).
African horse sickness
African horse sickness (AHS) adalah penyakit menular mematikan yang menyerang kuda. Disebabkan oleh suatu virus yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Culicoides. Wabah besar AHS di Republik Afrika Selatan sepanjang 200 tahun terakhir dihubungkan dengan kombinasi kekeringan dan curah hujan tinggi yang dibawa hawa panas El Nino (Baylis et al., 1999).
Leishmaniasis
Leishmaniasis adalah penyakit protozoa yang manifestasi klinisnya bergantung kepada spesies Leishmania dan respon imunologis dari induk semang. Penyakit ini ditularkan oleh lalat dan ditemukan di 88 negara, baik negara tropis maupun non-tropis dan juga di Eropa bagian selatan (Ashford, 1997).
Kejadian leishmaniasis sebanyak 12 juta kasus di seluruh dunia dan insidens bentuk klinis secara global mencapai 2 juta kasus baru per tahun. Penelitian belakangan ini mengamati bahwa kondisi lingkungan yang berubah disebabkan oleh praktek-praktek baru di sektor pertanian dan irigasi berkaitan dengan kenaikan kasus leishmaniasis kutaneus pada manusia (Alten et al., 1999; Toprak, 2003; Svobodova et al., 2003).
Pasteurellosis
Pasteurella multocida sebagai penyebab harmorrhagic septicaemia (pasteurellosis) pada sapi, dapat bertahan baik di luar tubuh induk semang dalam lingkungan yang lembab. Penyakit ini juga berhubungan dengan area yang kelembabannya tinggi dan terjadi selama musim hujan (Hall, 1988).
Avian influenza
Meskipun kaitan antara perubahan iklim dan avian influenza (AI) belum banyak digali secara lebih mendalam, akan tetapi sulit untuk dibantahkan bahwa virus AI bersirkulasi secara alamiah dalam bentuk ‘pool gen’ pada unggas air liar, terutama itik dan angsa migran (Gilbert et al., 2008).
Penyakit AI adalah penyakit unggas yang berevolusi dari virus yang berpatogenisitas rendah yang bersirkulasi pada populasi unggas liar dan diintrodusir ke populasi unggas daratan dengan ukuran kelompok atau kepadatan tertentu. Infeksi virus AI H5N1 merupakan hasil pelimpahan dari unggas domestik ke unggas liar. Panzootik AI yang diawali sejak 2003 sampai sekarang sudah mencakup 61 negara tertular. Perubahan iklim mempengaruhi migrasi burung, siklus penularan virus AI dan berdampak secara langsung terhadap daya tahan virus di luar tubuh induk semang.
Meskipun dampak perubahan iklim agak sulit untuk diprediksi, akan tetapi sangat besar kemungkinannya bahwa sirkulasi virus AI dalam populasi unggas air akan terus beradaptasi dan berevolusi tanpa akhir. Pada unggas domestik, sedikit sekali yang diketahui tentang dampak langsung perubahan lingkungan terhadap penularan dan persistensi virus untuk menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan dampak perubahan iklim. Namun tidak dapat diabaikan adanya kemungkinan kaitan tidak langsung dengan perubahan dalam penyebaran integrasi budidaya itik dengan tanaman.
Kesinambungan penularan AI hanya terjadi pada populasi spesies unggas domestik yang padat seperti misalnya pasar becek, perusahaan komersial besar dan flok itik yang bebas berkeliaran (Gilbert et al, 2006). Kondisi ini dapat menjadi berlebihan sebagai dampak perubahan lingkungan termasuk perubahan iklim jangka panjang, berkaitan dengan pola curah hujan dan perubahan suhu yang mempengaruhi persistensi virus AI di lingkungan, ekologi induk semang dan lain sebagainya (Olsen et al., 2006; Kapan et al., 2006).
Anthrax
Anthrax adalah suatu penyakit menular akut yang menyerang kebanyakan hewan-hewan berdarah panas maupun manusia dengan penyebaran seluruh dunia. Organisme penyebab adalah bakteri Bacillus anthracis, mampu membentuk spora yang tetap infektif selama 10-20 tahun di padang rumput. Temperatur dan kelembaban relatif serta kelembaban tanah semuanya mempengaruhi spora anthrax, bahkan curah hujan yang tinggi dapat membongkar spora anthrax yang sedang tidur (dormant). Wabah anthrax seringkali berkaitan bergantian antara curah hujan tinggi dan kekeringan, serta suhu tinggi (Parker et al., 2002).
Blackleg
Blackleg adalah suatu penyakit clostridial menular akut yang kebanyakan menyerang sapi muda dan juga mampu membentuk spora. Wabah penyakit selalu dikaitkan dengan area dengan kelembaban tinggi dan terjadi selama musim hujan (Hall, 1988).
3.7 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
Konsekuensi dari perubahan iklim baik
dalam bentuk pemanasan global maupun bentuk-bentuk perubahan iklim lainnya akan
bervariasi bergantung kepada cara-cara bagaimana rancangan lingkungan geografis
bereaksi terhadap kenaikan ataupun penurunan temperatur, kelembaban, curah
hujan, lapisan salju dan lain sebagainya. Mengingat pengaruh perubahan
tersebut terhadap sistem biologik, maka akan selalu terjadi dampak terhadap
penularan agen patogen.
Dengan demikian, perubahan temperatur dan kelembaban akan berdampak kepada penyebaran dan ekologi penyakit hewan menular, sedangkan frekuensi dan perluasan dampak dari wabah penyakit akan berubah sesuai dengan cuaca, seperti misalnya banjir dan kekeringan.
Dampak biologik perubahan iklim baik terhadap agen patogen maupun vektornya dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Dampak terhadap dinamika populasi, siklus pertumbuhan dan penularan penyakit
- Dampak terhadap luasan penyebaran dan ekologik; serta
- Dampak terhadap waktu kejadian dan siklus hidup (de La Rocgue et al. 2008).
Temperatur berdampak secara langsung terhadap ekologi, siklus pertumbuhan, kelakuan dan daya tahan vektor arthropoda, sehingga mempengaruhi pula dinamika populasi dan penularan penyakit (Rogers, 2006).
Musim merupakan komponen penting dari iklim. Di banyak wilayah beriklim sedang dimana temperatur musim panas hampir sama dengan tropis, terdapat perbedaan yang nyata dengan temperatur di musim dingin. Agen patogen yang ditularkan melalui nyamuk tropis akan dapat bertahan dalam temperatur musim yang sesuai, akan tetapi penyakit segera hilang begitu musim dingin tiba. Begitu juga profil curah hujan musiman berdampak nyata terhadap siklus hidup agen patogen (de La Rocgue et al. 2008).
Meskipun Indonesia belum banyak memiliki data yang komprehensif tentang dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan, tetapi sudah saatnya pemerintah, perguruan tinggi, badan penelitian serta lembaga swadaya masyarakat untuk secara bersama-sama mulai mempelajari, memantau, mengumpulkan data dan menyusun strategi nasional yang efektif dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan serta perlunya pemahaman baru tentang keterkaitan yang semakin berkembang antara penyakit hewan dan ekosistemnya serta perlunya isu kebijakan yang adaptif terhadap keterkaitan tersebut.
Dengan demikian, perubahan temperatur dan kelembaban akan berdampak kepada penyebaran dan ekologi penyakit hewan menular, sedangkan frekuensi dan perluasan dampak dari wabah penyakit akan berubah sesuai dengan cuaca, seperti misalnya banjir dan kekeringan.
Dampak biologik perubahan iklim baik terhadap agen patogen maupun vektornya dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Dampak terhadap dinamika populasi, siklus pertumbuhan dan penularan penyakit
- Dampak terhadap luasan penyebaran dan ekologik; serta
- Dampak terhadap waktu kejadian dan siklus hidup (de La Rocgue et al. 2008).
Temperatur berdampak secara langsung terhadap ekologi, siklus pertumbuhan, kelakuan dan daya tahan vektor arthropoda, sehingga mempengaruhi pula dinamika populasi dan penularan penyakit (Rogers, 2006).
Musim merupakan komponen penting dari iklim. Di banyak wilayah beriklim sedang dimana temperatur musim panas hampir sama dengan tropis, terdapat perbedaan yang nyata dengan temperatur di musim dingin. Agen patogen yang ditularkan melalui nyamuk tropis akan dapat bertahan dalam temperatur musim yang sesuai, akan tetapi penyakit segera hilang begitu musim dingin tiba. Begitu juga profil curah hujan musiman berdampak nyata terhadap siklus hidup agen patogen (de La Rocgue et al. 2008).
Meskipun Indonesia belum banyak memiliki data yang komprehensif tentang dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan, tetapi sudah saatnya pemerintah, perguruan tinggi, badan penelitian serta lembaga swadaya masyarakat untuk secara bersama-sama mulai mempelajari, memantau, mengumpulkan data dan menyusun strategi nasional yang efektif dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan serta perlunya pemahaman baru tentang keterkaitan yang semakin berkembang antara penyakit hewan dan ekosistemnya serta perlunya isu kebijakan yang adaptif terhadap keterkaitan tersebut.
terimakasih sangat membantu saya
BalasHapusDalam Bahasa Inggris Sering Disebut Cock Fight Dimana permainan ini mengadu antara dua ekor ayam jantan dalam sebuah arena pertandingan adu ayam ini memiliki sebutan didalam arena yaitu Sabung Ayam, permainan ini biasanya diikuti oleh perjudian yang berlangsung tak jauh dari arena sabung Ayam Bangkok
BalasHapusterima kasih
BalasHapus